Check Point 0 : Sumbawa begini…., Sumba begitu…
Sumbawa & Sumba, terdengar seperti nama dua anak kembar identik, padahal keduanya sangatlah jauh berbeda. Sumbawa sangat kental dengan pengaruh Islam misalnya, sedangkan Sumba lekat dengan pengaruh Nasrani. Di Sumba, peradaban jaman megalitikum alias jaman batu-batu raksasa masih sangat jelas terlihat hingga sekarang, hampir seperti di Tana Torja (Sulawesi) saya rasa. Orang Sumbawa sepertinya sangat menyukai musik gambus dan musik dangdut koplo, sedangkan orang Sumba menyukai musik disko yang kebarat-baratan.
Paling tidak, itu adalah perbedaan nyata yang saya rasakan dari pengembaraan saya selama 3 minggu lebih di Bulan November 2010 lalu.
Perbedaan yang sangat terasa lainnya misalnya soal kondisi jalan. Karena selama 3 mingguan itu kebanyakan waktu saya dihabiskan di jalan, maka perbedaan ini sangat terasa. Di Sumbawa, kondisi jalan aspal mulus hanya saya nikmati selama di kota, misalnya di Kota Sumbawa Besar, Kota Dompu, Kota Hu’u, Kota Bima dan Kota Sape. Semakin ke pinggiran, kondisi jalanan semakin rusak parah cenderung ke “off road”, misalnya trayek ke Pantai Sekongkang, trayek ke Calabai, dan yang terparah adalah trayek ke Desa Tepal. Sedangkan di Sumba, jalan aspal mulus telah menghubungkan kecamatan-kecamatan, bahkan hingga ke desa-desa, misalnya ke pelosok desa-desa di Kecamatan Kodi (Sumba Barat Daya), dan ke Desa Kaliuda (Sumba Timur) .
Sejarah mencatat bahwa Suku Sumbawa atau tau Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima. Saat ini, penduduk yang mengklaim diri sebagai keturunan asli tau Samawa mendiami wilayah-wilayah pegunungan Batu Lanteh, seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar. Mereka mengungsi ke sana akibat dataran rendah yang dulunya mereka diami sudah rusak dan tidak bisa didiami lagi pasca erupsi Gunung Tambora di tahun 1815 , yang menewaskan hampir dua pertiga penduduk.
Pengaruh Islam di Sumbawa pertama kali datang dari tanah Jawa, yaitu oleh Sunan Prapen (keturunan Sunan Giri) pada sekitar abad ke 16. Dan kemudian terus mengakar dengan kuat hingga sekarang.


Sumba berasal dari kata Humba atau Hubba yang berarti asli. Penduduk pulau Sumba biasa menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba yang berarti tanah asli, dan mereka menyebut dirinya sebagai Tau Humba atau orang-orang asli.
Penduduk pulau Sumba sendiri sebenarnya bukan penduduk asli, tetapi pendatang dari berbagai daerah seperti Sawu, Bima, Ende, Makasar, Bugis, Selayar, Buton, dan yang paling utama dikatakan dalam beberapa cerita, nenek moyang orang Sumba berasal dari Malaka Tana Bara atau dari Semenanjung Malaka. Nenek moyang orang Sumba pertama kali tiba di pulau Sumba lewat Tanjung Sasar dan muara Sungai Pandawai.
Nenek moyang orang Sumba menganut kepercayaan animisme Marapu. Sekarang, hampir 65% dari penduduknya menganut agama Kristen. Kuatnya pengaruh agama nenek moyang Merapu, hingga sekarang masih bisa dirasakan, terutama di kampung-kampung adat yang masih memegang teguh adat istiadat tradisi. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir, salah satunya ada di Desa Pero, di tepian laut selatan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Sosok penduduk Sumbawa lebih mirip penduduk Indonesia bagian barat pada umumnya. Sedangkan di Sumba, lebih mirip penduduk Indonesia bagian timur.
Penduduk Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid, seperti penduduk asli Papua Nugini , Selandia Baru, dan Australia. Lebih seperti sosok orang Portugis. Lebih exsotis, begitu kalau saya bilang 🙂
Laki-laki Sumbawa, identik dengan kain sarung dan peci. Sedangkan laki-laki Sumba, yang masih memegang teguh tradisi, identik dengan mulut merah karena mengunyah sirih, golok panjang atau parang, kain hinggi yang diikatkan di pinggul dengan ikat pinggang lebar dari kulit, serta tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul ini dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung.
Logat bicaranya, kalau orang Sumbawa lebih “halus dan mengalun” , ada sedikit “alunan” logat Bali. Sedangkan logat Sumba keras, tegas, dan cepat, seperti orang marah-marah. Kecuali kalau yang bicara itu Ibu Sonya dan Ibu Kades Kaliuda , halus dan lembut 🙂
Jadi, kenapa memilih Sumbawa dan Sumba sebagai tujuan perjalanan kali ini….??
- Pertama, karena saya belum pernah ke 2 tempat tersebut :-p
- Keduanya, karena saya penasaran dengan kedua pulau yang namanya seperti kembar identik ini, betulkah identik..?, bagaimanakah adat istiadatnya..?, seperti apakah orang-orang nya, bagaimanakah alamnya, seperti apa rasa makanan favorit mereka ???
- Dan yang ketiga, beranikah saya mengembara sendiri kesana ??? Ternyata, saya berani…., Anda juga dong…!!! 🙂

===========
Ini adalah langkah awal saya, langkah selanjutnya ada di Pengembaraan Sumbawa – Sumba Check Point 1 , 2, 3, 4, 5, 6, dst :))
==========
Sumber info yg bagus :
– http://www.sumbawanews.com/berita/mengenal-kebudayaan-sumbawa
– http://fridlampard.blogspot.com/2013/04/marapu-dan-budaya-masyarakat-sumba.html
bener ga sih kalo nenek moyang orang sumba itu berasal dari india?
katanya sih begitu ^_^
http://www.biyunasakgallery.com/lavalon/savu.htm
Terutama nya orang Sawu yaa…
sekedar catatan orang sumbawa sekarang ini merupakan keturunan orang makassar, bugis; gowa, mandar, selayar. catatan anda terbalik sepertinya. Islam yang berkembang di sumbawa tidak dari jawa tapi dari makassar.
wahhh makasih koreksinya
contekannya salah nulis kali hihi
^_^
sumba dan sumbawa menjadi destinasi tujuan saya setelah menyelesaikan penulisan skripsi… (mau lanjut terus baca tulisan-tulisan selanjutnya)
ayoo…ayooo….Sumbawa full of adrenaline-venture, sumba full of cultural-venture.
namanya kaya bayi kembar siam, tapi budayanya beda banget…
wahh..jarang-jarang opening suatu travel writing dimulai dari sejarah etnografinya
wahhhh…..sejarah etnografi yang super singkat dan banyak salah copy…, maaf dehhh…risetnya alakadar
Sebagai perbandingan coba kunjungi Batak dan Toraja,
Tidak ada sejarah tertulis tentang asal usul orang Sumba, tapi kalau diperhatikan dari pantun adat orang Sumba, nenek moyang kami sebelum sampai ke Sumba mereka telah melewati “7 daratan dan 7 lautan” katanya. Jadi ada kemungkinan bahwa Batak dan Toraja merupakan persinggahan atau malah lanjutan dari sebagian nenek moyang orang Sumba.
Toraja daku dah pernah. Adat penguburannya Sumba selain mirip-mirip Toraja juga mirip-mirip dengan di Minahasa, dimasukan ke dalam batu dalam keadaan duduk & diikat kain tenun juga dibekali dengan berbagai harta benda berharga.
Kalau ke Batak, daku belom pernah hikss…