Pegunungan Tengger

27/12/2011

Saya kesal mendengar komentar salah satu teman sewaktu melihat foto-foto pemandangan pagi hari yang saya ambil sewaktu di Gunung Pananjakan (2700 MDPL) yang perlihatkan Gunung Batok, lalu Gunung Bromo (2300 MDPL), dan dikejauhan ada Gunung Semeru dengan asapnya yang mengepul. Ketiga gunung itu dikelilingi oleh pelataran awan putih. “Ini bener nihh foto disana ??” katanya sambil menatap tak percaya… “Ya iyalahhh… memang foto itu diambil disana, memangnya loe pikir dimana…???” sahut saya kesal bukan kepalang. Kata teman saya lagi: “Ngga…, kok kaya foto diri yang diambil di studio foto, loe kaya lagi berdiri didepan cetakan foto lanscape indah pemandangan gunung…”

Mei-2007

===================

Ya memang begitulah kesan yang ditampilkan foto-foto pemandangan pagi di Pegunungan Tengger.  Seperti lukisan.  Tapi se-maestro apapun pelukisnya tidak akan mengalahkan lukisan alam nyata karya Tuhan Yang Maha Kuasa.

Anda yang sudah pernah melihat sendiri ke sana, pasti tahu maksud saya

Awalnya, saya pikir ke Gunung Bromo itu seperti ke gunung-gunung lainnya, trekking pendakian melelahkan jiwa raga sambil membawa segala perlengkapan “kenyamanan hidup portable” yang bisa dibawa dalam satu backpack besar tersampir di punggung.  Ha….ternyata ke Bromo “tidak semenantang itu” 😀

Kami start dari Kota Malang, sepulang dari Pulau Sempu di tepi Selatan Malang, menuju Tumpang.  Dari sana kami mencarter jeep yang biasa dipakai untuk mengangkut sayur mayur, menuju Desa Ranu Pane.  Rutenya memang memutar, jalannya jelek, tapi menjanjikan pemandangan alam pegunungan yang spektakuler, dan menawarkan pengalaman petualangan yang tidak bisa kami abaikan.

www.kaskus.us/showpost.php

Jeep nya Pak Yanto

Semua backpack telah terikat erat-erat di bagian atas jeep, aman tertutupi lembaran plastik terpal, jaga-jaga kalau turun hujan.  Hanya satu penumpang yang bisa duduk di dalam kabin depan, yang lainnya berdiri di bagian belakang jeep terbuka, berpegangan pada palang-palang besi.

Pemandangan pedesaan pegunungan memang spektakuler, kebun-kebun sayuran berundak-undak menghiasi lereng-lereng bukit.  Penduduk desa yang baru pulang dari ladang ataupun yang baru pulang dari mencari rumput untuk ternak-ternak nya tersenyum ramah ketika berpapasan.  Paru-paru yang selama ini dijejali dengan udara knalpot kini bersuka ria dianugrahi udara pegunungan yang bersih dan segar.  Kamera-kamera dijepretkan ke sana ke sini, inilah alasan kami memilih jeep bak terbuka, supaya bisa lebih leluasa mengabadikan setiap moment menarik yang datang hanya sekejapan mata, tak bisa di ulang, tak bisa di re-wind, tak bisa di re-play, tak bisa di-undo…

Rute ini juga melalui air terjun Coban Rondo, lalu Desa Ranu Pane dengan danaunya, setelah itu memutar dan melewati padang savana luas yang menakjubkan, menembus gurun pasir Bromo, hingga ke Desa Cemoro Lawang, sebuah desa turis yang dipenuhi dengan berbagai hotel dan penginapan.  Kami menginap disalah satu penginapan kelas VIP, backpacker naik status ^_^

Kira-kira jam 2 dini hari dengan masih amat sangat mengantuk, kedinginan bukan main, plus lapar pula, bergegas-gegas kami menaiki jeep lagi, menuju Gunung Pananjakan untuk melihat pemandangan “The Spectaculer Sunrise of Bromo”.  Sudah banyak sekali wisatawan berkerumun disana, seperti kerumunan penduduk miskin yang sedang menunggu sat-saat pembagian raskin.  Disitu ada semacam tempat duduk berundak-undak seperti di stadion sepakbola, tapi semuanya telah penuh.  Mencari posisi strategis untuk dapat menikmati suasana sunrise tanpa penghalang adalah usaha yang sangat susah dilakukan.  Terpaksa kami melewati pagar keselamatan, dan bertengger di sis tebing, berhati-hati agar tidak menginjak tanah yang licin atau tanah yang gembur dan mudah ambrol.

Sayangnya kami tidak disuguhkan dengan matahari bulat merah saga yang baru terbangun dari tidur lelapnya semalam.  Awan-awan menghalangi pemandangan.  Tapi ketika sang mentari pagi terus meninggi, dan sinarnya menjangkau lebih jauh, tersibaklah pemandangan alam spektakuler itu.

Awan putih terhampar dibawah kami, puncak Gunung Batok seperti nasi tumpeng di tengah-tengah hamparan kapas.  Dibelakangnya ada Gunung Bromo yang mengepul, lalu nun jauh di belakangnya lagi ada Puncak Mahameru, tanah tertinggi di Jawa, kawah junggring saloko nya sesekali meletupkan awan panas bergulung-gulung membubung tinggi ke angkasa.  Pemandangan alam maha dahsyat yang menggetarkan jiwa…!!!

Satu-persatu wisatawan mulai meninggalkan gardu pandang Gunung Pananjakan yang sudah menyajikan pertunjukan keindahan alam tiada tara.  Begitu pula kami, meneruskan perjalanan menuruni Gunung Pananjakan, menembus atap awan kabut putih yang masih pekat dan belum mampu ditembus cahaya matahari.  Kembali mengarungi lautan pasir dibawah naungan atap kabut putih, menuju pelataran parkir Gunung Bromo.

Jeep dan kuda adalah tunggangan andalan disini.  Kadang-kadang pengendara sepeda dan mobil ada yang adu nyali menjajal hamparan gurun pasir.  Siluet-siluet tukang kuda beserta kudanya seakan-akan tiba-tiba muncul dari dunia dongeng penuh mistis.  Semuanya masih gelap samar-samar padahal sudah lebih dari jam 8 pagi.

Kami yang penasaran dengan “rasa” menunggang kuda, memilih kuda-kuda yang sesuai dengan postur tubuh, dan tentu menawar sebisanya.  Kuda yang saya tunggangi namanya “Unyil” karena sosoknya yang mungil, cocok dengan pawang serta saya , calon penumpangnya.  Si Unyil ini cukup tenang ketika saya naik di sadel dan duduk diatas pelana.  Tidak seperti kuda pilihan salah satu teman yang gelisah, terus saja meringkik, mendengus dan mendepak-depakan kakinya, membuat penumpangnya jadi ikut gelisah.

Pelan-pelan kami berkuda menembus kabut, pawang kuda berjalan disamping sambil terus memegangi tali kekang dan mengerahkan kuda.  Enak juga ternyata naik kuda…

Kami berhenti di depan Gunung Batok yang seperti kue apem hijau raksasa, tepat dikaki tangga beton untuk menuju bibir kawah Gunung Bromo.    Banyaaaaakkk..sekali wisatawan disana sini.  Pemandangan dari atas tepi kawah memperlihatkan hamparan gurun pasir yang dibatasi oleh dinding gunung.  Ketika kabut menghilang, tampaklah Pure ditengah gurun, padahal tadi kami lewat situ, tapi tidak melihatnya karena masih tertutupi kabut pekat.

Penduduk Tengger merupakan pemeluk Hindu Kuno terakhir di tanah Jawa.  Mahameru adalah tempat suci bagi mereka.  Ritual-ritual kuno budaya Tengger masih terus dilestarikan hingga sekarang, meski sudah terkontaminasi sedikit disana sini akibat “kehidupan modern”, seperti Upacara Kasada yang diselenggarakan di puncak Gunung Bromo sebagai syukuran pada dewata.

=====000=====