KISAHKU DI NEGERI TENGKORAK

20-23 Maret 2008

 

Ini pengalamanku beberapa tahun lalu bersama 3 kawan, pengalaman bertualang pertamaku ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Sebuah perjalanan panjang dari kaki Gunung Salak, menjajaki langit di atas laut Jawa lalu hinggap di Makassar, dilanjutkan dengan menyusuri kaki kiri Sulawesi hingga tiba di Kota Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja.

 

Aku sebut Tana Toraja sebagai Negeri Tengkorak. Bukan bermaksud menghina ataupun melecehkan tetapi baru di sana itu lah aku pernah melihat begitu banyak tengkorak dan tulang belulang manusia betulan berserakan di lubang-lubang goa, lubang dalam batu, dan di lubang yang dipahat di pohon.

Cara pemakaman yang sangat berbeda dengan yang biasa aku saksikan di kampungku di Tatar Sunda. Membuatku terbengong-bengong dan tersadar betapa sedikitnya hal yang aku tahu tentang negeriku, Nusantara.

Adat istiadat yang sempat aku saksikan di Toraja membuatku ingin terus menjelajahi segenap pelosok Nusantara.Akan tetapi, semakin banyak berjalan semakin haus saja aku jadinya dengan pengalaman menyaksikan keragaman budaya Nusantara dan keelokan alamnya. Tak habis-habis takjubku dan kurasa dari umur hidupku hanya secuil saja yang bisa kujelajahi di Nusantara.

Penghormatan Terakhir

Kebudayaan Tana Toraja yang sudah menarik warga dunia menjadikan kota kecil Rantepao sebagai pusat persinggahan turis.Penginapan dan hotel berdiri di sana sini, biro wisata dan perjalanan bertaburan. Udaranya sejuk sekali karena berada di daerah pegunungan, seperti di kaki Gunung Salak sana yang aku tinggalkan kemarin.

Hari ini, kata sopir mobil sewaan akan ada suatu prosesi upacara kematian salah satu keluarga bangsawan Kampung Sadan. Kami semua sudah diwanti-wanti untuk memakai pakaian berwarna gelap, hitam kalau bisa, ini adalah untuk menghormati adat setempat.

Kampung Sadan letaknya di utara Kota Rantepao. Mobil berhenti di sisi jalan kecil berbatu. Rombongan orang berbaju hitam-hitam berdatangan. Kerbau-kerbau diseret menaiki jalan setapak, babi-babi dipasung kedua kakinya pada sebatang bambu dan diusung para lelaki ke rumah duka. Suara nyanyian sekelompok mabadong, yaitu kelompok penghibur keluarga berduka melakukan gladi resik di halaman, para lelaki bersarung dan berpakaian hitam membentuk lingkaran dan melakukan gerakan tarian khas sambil melantunkan kidung.

Rumah duka terletak di tanah yang lebih tinggi karena demikianlah struktur tanah Tana Toraja yang berbukit bergunung dan berlembah. Jalan setapak mendaki dari arah jalan berbatu bermuara di halaman tempat prosesi upacara kematian Rambu Solok pun dilaksanakan. Dulunya ritual ini merupakan salah satu ritual agama kepercayaan Aluk Todolo yang dianut nenek moyang Toraja. Kini, walaupun sebagian besar warga Toraja sudah beragama Kristen tetapi adat istiadat ini tetap terus dipertahankan.

Di tengah halaman rumah duka berupa rumah panggung beratap khas Toraja (tongkonan) telah dibangun tempat persemayaman 3 jenazah. Ketiganya disimpan dalam peti mati (erong) berukir dan berselimutkan kain tenun khas Toraja berkualitas. Bagian kepala erong yang berbentuk oval menandakan bahwa ini adalah jenazah para bangsawan. Ketiga jenazah akan dikuburkan beberapa hari ke depan setelah melewati 7 tahapan upacara. Mereka bertiga itu sudah meninggal beberapa bulan yang lalu dalam waktu yang tidak bersamaan. Ketiganya diawetkan dengan ramuan khusus supaya tidak cepat membusuk tapi medis modern telah mengubah hal ini. Kini seorang mantri kesehatan akan memberikan suntikan pengawet jenazah tersebut.

Adat penguburan jenazah di Tana Toraja ini yang biasanya memakan waktu hingga berhari-hari lamanya dan memerlukan biaya yang sangat tinggi. Upacara penguburan akan dilakukan jika biaya yang diperlukan sudah terkumpul sehingga jika dalam satu klan keluarga ada lebih dari 1 jenazah maka upacara nya dilakukan bersamaan. Seperti yang terjadi di keluarga ini. Bahkan tahun 1992, ssaat seorang pemuka Toraja, mantan bupati Tana Toraja meninggal kemudian keluarganya meminta sebanyak US25.000,- dari sebuah stasiun televisi Jepang sebagai lisensi untuk merekam upacara pemakaman tersebut.

Selain rumah persemayaman jenazah, di tengah arena upacara juga terdapat semacam tribun kehormatan. Untuk masing-masing sanak famili dan disiapkan suatu tempat khusus yang disebut “lantang” yang dibangun di sekeliling area upacara utama dan diberi nomor urut supaya tertib. Sebuah lantang berukuran besar juga dipersiapkan khusus untuk para pengurus Lembaga Adat (Tongkonan) yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat (To Parenge).

Ketika upacara dimulai, dengan diiringi lantunan kidung oleh grup mabadong dan tari-tarian serta lengkingan seruling khas toraja, satu per satu keluarga kerabat memasuki arena upacara, memutari rumah persemayaman jenazah, lalu memasuki para kepala keluarga memasuki tribun kehormatan untuk jamuan makan.

Semua ternak sesembahan berupa kerbau (tedong) dan babi yang nilainya setara atau lebih besar dibandingkan sesembahan yang pernah diberikan keluarga yang tengah berduka. Hal itu akan dibalas kemudian hari pada saat ada anggota kerabat tersebut ada yang meninggal. Seekor kerbau bule (tedong bonga) bermata merah jambu dituntun masuk arena, katanya harga mendekati Rp 100 juta,wooowww! Lalu seekor kerbau kelihatan seperti kerbau biasa juga diseret masuk arena, ehh..ternyata katanya itu kerbau waria (tedong balian), bukan jantan sejati tapi bukan pula betina sejati..haduuhhhh.. aneh-aneh saja. Akan tetapi jenis kerbau itu harganya mahal katanya. Tedong saleke adalah jenis kerbau belang yang nilainya paling tinggi diantara semua jenis kerbau.

Selain tedong-tedong, babi-babi yang diikat pada bambu diusung untuk disebilah memasuki arena, suaranya ribut menjerit-jerit meramaikan suasana.Tiba-tiba seekor babi yang ikatannya longgar terlepas dan lari kesana-kemari membuat panik semua orang. Temanku yang kebetulan berdiri searah larinya si babi, bergegas melompat menaiki lantang tanpa menyadari bahwa itu adalah lantangnya Pemangku Adat..haha…lucu sekali dia bertengger panik di tepi lantang di hadapan pemangku adat.

Rumah Terakhir

Belum pernah aku melihat tengkorak-tengkorak dan tulang belulang manusia selain di museum tetapi di Toraja aku melihat semuanya, banyak sekali!

Di Londa, gua-gua berada di tebing batu kapur telah menjadi tempat penguburan jenazah. Semakin tinggi strata sosialnya maka lubang gua pun semakin tinggi pula letaknya. Konon kabarnya, zaman dahulu, mantra-mantra dukun sakti akan membuat jenazah-jenazah itu berjalan naik sendiri ke lobang persemayamannya di atas sana.

Di mulut goa yang ada di dasar tebing batu Londa, banyak tengkorak dan tulang belulang berserakan karena erong kayunya sudah lapuk dimakan usia, bahkan ada yang sudah ratusan tahun usianya. Erong-erong juga digantungkan di tebing-tebing batu. Itu adalah untuk jenazah anak-anak.

Bentuk erong juga dibedakan, bentuk babi untuk perempuan, bentuk perahu dan bentuk kerbau untuk laki-laki. Untuk bangsawan bentuk ujung erongnya harus oval, sedangkan untuk orang kebanyakan berbentuk bulat.

Untuk bayi, jenazahnya akan dimasukan ke dalam lubang pohon, seperti di Kambira.Jenazah sang bayi akan dibungkus kain putih dalam posisi seperti dipangku, lalu dimasukan ke dalam pohon yang sudah dilubangi lalu ditutup dengan pelepah enau dan pasak dari ijuk (tana karurung). Jumlah karurung melambangkan strata sosial keluarga almarhum si bayi. Ada banyak prosesi yang harus dijalankan selama masa penguburan ini.

Dag dig dug jantungku ketika melangkah memasuki mulut goa, lampu senter dinyalakan. Tidak jauh berjalan sudah bertemu 3 tengkorak menyeringai di sela sela lubang, di sebelah kanannya ada tumpukan peti-peti mati, kebanyakan sudah lapuk dan keropos bolong-bolong, isinya berserakan tetapi yang masih utuh juga ada. Semakin ke dalam semakin lembab dan dingin, sering sekali harus membungkuk karena langit-langit goa yang rendah. Akan tetapi, di dalam goa ada tempat cukup lapang, di sini terdapat sepasang tengkorak Romeo and Juliet-nya Tana Toraja, konon mereka adalah sepasang kekasih yang bunuh diri bersama karena cintanya tidak direstui kedua orang tua. Di lubang-lubang goa, erong-erong bertumpuk-tumpuk.Keremangan goa membuat bulu kuduk kadang meremang.

Di daerah Lemo, Suaya, dan Kete Kesu juga terdapat tebing batu yang dijadikan kuburan. Dinding tebing batu dilobangi dengan cara dipahat membentuk segi empat, di dalam nya juga dipahat hingga ukurannya sesuai untuk menyimpan erong.Patung-patung (tau-tau) berjejer di depan kuburan para bangsawan. Jika yang meninggal adalah keluarga bangsawan dan bisa memenuhi syarat berupa sejumlah kerbau (tedong) maka dia berhak untuk dibuatkan patung diri (tau-tau) yang dibuat dari kayu nangka dan dipahat serta didandani semirip mungkin dengan almarhum dikala masih hidup.

Di Kete Kesu seluruh tebing bukit dijadikan sebagai kuburan. Gua-guanya tidak sedalam di Londa tetapi efek seramnya entah kenapa lebih terasa.Akan tetapi, di sini sudah terdapat bangunan di atas kuburan yang terbuat dari tembok semen, hal ini bisa jadi karena gua sudah kepenuhan untuk jenazah.

Di Batu Tumongga dan Bori, jenazah-jenazah dikuburkan di dalam batu-batu besar yang bertebaran di areal pesawahan dan kebun. Batu-batu super besar itu dibolongi dengan cara dipahat juga. Biasanya satu batu digunakan untuk menyimpan mayat seluruh anggota keluarga. Di pintu penutup lubang batu dipasang patung (tau-tau) dan benda-benda yang disukai almarhum semasa hidupnya. Di Bori ini terdapat taman batu megalitikum atau serupa batu prasasti yang melambangkan status sosial almarhum. Semakin tinggi besar batu prasasti maka semakin tinggi derajat sosialnya dan semakin banyak pula tedong yang harus dipersembahkan.

Waahhh, ini betul-betul adalah pengalaman luar biasa buatku, bisa merasakan langsung salah satu kekayaan budaya Nusantara. Aku pun akan terus berjalan untuk merasakan yang lainnya LANGSUNG di tempatnya.Bukan lagi hanya sebatas dari buku-buku atau cerita televisi.

Ke Tana Toraja dapat menggunakan bus ke Rantepao sekira Rp60.000,- selama 5 hingga 7 jam. Dapat pula menyewa mobil seharga Rp300.000,- termasuk supir dan bensin.

Untuk akomodasi ada Hotel Indra Toraja, telp. 0423-21583, 21163, 21442, dengan harga mulai Rp200.000,- dan lokasinya strategis. Pilihan lain ada Pondok Wisata, do Jalan Pembangunan No. 23 Rantepao, harganya Rp100.000,- dan ini cocok untuk backpacker. Ada juga Wisma Maria 1 di Jalan Dr. Ratulangi 23, telp. 0423-21165, dengan harga Rp50.000,-.

============================

Penulis : dian sundari

Versi sebelumnya di posting di : http://pesona.travel/artikel/detail/kisahku-di-negeri-tengkorak