Rasa penasaran saya akan Pulau Sabu ini terutama adalah mengenai budayanya. Akankah budayanya sama seperti di Sumba yang sebelumnya pernah saya datangi ?? Apakah perbedaan tenun ikatnya jika dibandingkan dengan tenun ikat Kaliuda (Sumba Timur) yang sekilas sudah saya “cicipi” cara pembuatannya itu ?? Akankah orang-orangnya seeksotis orang Sumba yang menurut saya “lebih Portugis” itu ?? Sebegitu terpencilnyakah Sawu sehingga salah satu blog milik wisatawan bule menyebutnya sebagai “budaya paling murni yang bisa ditemukan di Indonesia” ??
Dan kenapa saya menyandingkan Pulau Sabu dengan Pulau Sumba ??? Hmmm.. tentu karena mereka bertetangga ^_^.
Dan tentu bukan tanpa sebab kan kalau mereka dimasukkan ke dalam Wilayah Nusa Tenggara Timur , bukan…?? Dulu saya menyandingkan Pulau Sumbawa dengan Pulau Sumba karena saya pikir penamaan mereka yang seperti kembar siam itu menandakan kekerabatan budaya. Ternyata saya salah besar…, mereka amat sangat berbeda.
Persinggahan pertama saya dengan budaya Sabu adalah di Kampung Namata (Desa Rae Lolo), yang berjarak kira-kira 3 km dari Kota Seba. Kampung ini berada di atas sebuah bukit, dengan pemandangan lapang ke segala penjuru. Sekelilingnya adalah daratan kering, daratan khas NTT. Ternyata bentuk rumah adatnya berbeda dengan di Sumba, bentuk atapnya memanjang, tidak membulat ataupun membumbung tinggi seperti di Sumba.
Di sini pula untuk pertama kalinya saya belajar memberi salam khas Sabu, yaitu menggesekan hidung dengan hidung. Mama Elisabeth mengajarkan hal itu sambil terkikik geli 🙂
Menurut sejarah, Namata merupakan salah satu pusat peribadatan (atau Nada) agama nenek moyang di Sabu. Bukti dari hal tersebut bisa dilihat di arena upacara adat yang ada di tengah kampung. Disana terdapat 7 batu megalit utama berbentuk bulat (atau wowadu) dan 7 batu megalit pelengkap yang merupakan batu-batu tempat meletakan persembahan bagi Dewa (atau Deo).
Ditengah area terdapat arena sabung ayam yang berupa lingkaran dari batu-batu. Di area inilah rangkaian upacara adat biasanya dilaksanakan, misalnya rangkaian upacara adat, misalnya Upacara Hanga Dimu pada bulan Februari pas hari ke 5-9 bulan gelap, yang diakhiri dengan pacuan kuda dan sabung ayam, demikian tutur Mama Elisabeth dalam bahasa Indonesia terbatas yang bercampur dengan bahasa Sabu, yang bagi saya terdengar seperti bahasa yang “meloncat-loncat” dan “tersendat-sendat” karena sering terdapat penundaan antara 2 suku kata.
Mama Elisabeth juga mengajari saya tentang khasiat gula lontar cair alias gula aer yang sangat ampuh untuk menyembuhkan gangguan pencernaan seperti maag, untuk meningkatkan daya tahan tubuh, dan untuk memperlancar penyerapan sari makanan oleh tubuh sehingga menjadi lebih “berisi”. Pelajaran tentang khasiat gula lontar ini muncul gara-gara badan saya kurus kering ini. “Tidak makan dan minum kahh..??? Badannya halus sekali….” demikian tanya Mama Elizabeth dengan lirih sambil mengusap-usap lengan saya yang kurus, sepasang matanya memandang saya dengan prihatin. “Halus” adalah istilah Mama Elisabeth untuk kurus.
Mama Elisabeth memang penuh kejutan. Entah dari mana munculnya ide Mama Elisabeth untuk mendandani saya seperti layaknya wanita Sabu, memakaikan kain tenun ikat lengkap beserta kalung manik-manik khas Sabu. Katanya nanti pasti saya jadi cantik sekali kalau berfoto memakai tenun ikat Sabu di area batu-batu megalit itu. Dan saya memang terlihat cantik sekali bukan ??? Cliiing….
==========================================
Salah satu kontestan pemenang dalam lomba adventure journal http://www.djarum-super.com/adventure/adventure-journal/contestant-journal/detail/read/pulau-sabu-3-nose-to-nose-nona-sabu-20-menit/ Oleh : Dian Sundari
Reblogged this on Latisha's stories.
Makasih Jeng Lintang, sudah me-reblog 🙂
makasih juga kak dian utk postingannya… ^__^ dtunggu postingan traveling lainnya ya kak..
Senang sekali bisa membaca artikel ini mba! 🙂
Hai @Namata : senang sekali sayaa…. ternyata ada juga yang mau membacanya hahaa….
Are you from Sawu…??? Namata Village..???
Namanya samaa… 🙂
Iya mba..Bapak saya asli dari Namata..hehe..
Waww….hebat…. Daku pengen ke sono lagi, pengen menginap di rumah adat Kampung Namata, pengen lihat upacara adat, tarian adat, pengen nyicipin makanannya (klo tuak, gula aer, laru & sopi, dah pernah nyicipin hihii…)
Pengen ke Pulau Rai Jua juga 🙂
yg banyak acara adatnya bulan berapa ya..???
Bilangin ama Bapaknya, klo mo pulkam , ajak-ajak saya gitu yaaa…!!! Hahahaa…
orang sabu 😛
i’m sabu too 🙂
thanksv for to visitng in my kampoeng 😀
sy dari sabu timur, lain klo mw pi sabu lagi ajak2 yah 😛
Halo Olifia,
Wahhh ini dia Nona Sabu yang asli :-p
Pulau nya cantik sekali.., orang2nya juga 🙂
Jadi pengen ke sana lagi 😀
Hay…. Salam cium Sabu. . 😊
Saya juga dari Sabu Desa Raekore… arah ke timur dari pelabuhan seba… sekarang tinggal di Jakarta
terima kasih sudah datang jauh2 dari jakarta untuk melihat kampung kami..
Semoga suatu saat Tuhan masih berikan umur yg panjang.. dan bisa berkunjung ke Rai Hawu lagi…
Halo Kaka Otniel,
Wahh jadi pengen ke Desa Raekore…. Mau minta diajari tenun, bikin garam, panjat pohon lontar, dan bikin sopi hihii….
🙂
😊…. boleh… kalau ada waktu kita boleh pergi bersama…
Hehe… 😀… boleehh…. kalau ada waktu.. kita bisa pergi bareng…