“SELAMAT HUT KEMERDEKAAN RI-67…!!!!”
Sejak sore hari kemarin, jalanan kota Kalabahi (Kab. Alor-Solor, NTT) sudah meriah dihiasi umbul-umbul dan bendera merah putih. Tim Drum Band giat melakukan latihan gladi-resik , berpawai keliling kota, ditonton segenap warga kota yang bermunculan ke tepi jalan demi mendengar dentuman drum dan lengkingan terompet mereka.
Sementara itu kami sibuk berbelanja baju ganti, perlengkapan mandi, dan sarung, akibat bagasi yang tidak diangkut si pesawat.
Pagi ini, hati terasa plong dengan adanya informasi bahwa bagasi kami sedang dalam perjalanan udara dari Kupang ke Alor sini. Uuupsss….terpaksa kami harus melewatkan upacara peringatan HUT RI yang ke 67 pagi ini, karena harus ke Bandara Mali untuk menjemput si bagasi.
Jam 8 pagi waktu setempat, bunyi sirine pertanda datangnya pesawat di bandara memecah pagi yang cerah. Ohh..syukurlaaahhhh….bagasi kami lengkap semua… “Selamat Datang di Alor backpack orange ku….” hahaaa…
Kini, setelah semua bagasi datang, maka kami siap bertualang mengeksplorasi alam dan budaya Alor. Teman-teman yang ikut Diving Program sudah meluncur ke dermaga di Pantai Reklamasi. Teman-teman yang akan snorkling masih sibuk bersiap diri sambil meunggu jemputan bemo “Cinta” untuk keliling kota dan ke Alor Kecil. Saya, yang penasaran ingin mengunjungi salah satu kampung adat, bersiap menaiki ojek ke Kampung Takpala di Desa Lembur Barat, Kec. Alor Tengah Utara.
Uupsss…..saya hampir lupa membeli oleh-oleh sirih-pinang untuk Ketua Adat Takpala. Sebetulnya, tuan rumah lah yang berkewajiban menyajikan sirih-pinang kepada tamunya, tapi tak apalah…
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, menyusuri jalan aspal kecil dan lengang di bibir pantai. Rute terakhir menuju kampung Takpala ini sungguh trek yang menantang, berupa jalanan berbatu menanjak terjal dan berliku. Hampir ciut nyali saya dan minta turun saja dari ojek, tapi mamang ojek bersikeras agar saya duduk tenang-tenang saja dan tidak perlu takut, karena katanya beliau sudah terbiasa mengantar tamu ke sini. Aww…ya sudahlah…saya pun berpegangan erat-erat ke body motor supaya tidak terpental :p
Ohhh..ya ampun, pemandangan sepanjang perjalanan menanjak ini sungguh indah, hamparan laut biru membentang di bawah sana. Sungguh sulit berkonsentrasi berpegangan menjaga keseimbangan di atas ojek yang merayap terseok-seok mendaki di jalanan berbatu. Beberapa orang anak kampung yang tengah asyik bermain di halaman rumahnya menatap ingin tahu ke arah saya, tapi spontan mereka tersenyum dan membalas sapaan “halooo…” dan lambaian tangan saya. Anak-anak di sini sepertinya sudah sangat terbiasa melihat pelancong. Dan tibalah saya di pelataran “parkir” di mulut kampung. Dari sini pemandangan ke arah lautan sangat leluasa.
Sedikit mendaki lagi, maka sampailah saya di pintu masuk kampung, disambut Ibu-ibu penjaja cinderamata yang menggelar lapaknya di halaman, di bawah pohon rindang. Anak-anak asyik bermain di sekitarnya.
Deretan rumah-rumah panggung beratap bulat meruncing terbuat dari rumbia kering dan disangga 4 tiang utama dari kayu merah gelondongan yang sangat kuat. Terdapat 15 unit rumah adat (loppo). Sistem ikat memperkuat kekokohan struktur rumah loppo. Tali pengikat tersebut adalah berupa pohon tanaman merambat yang kuat lagi lentur.
Rumah loppo terdiri dari 4 tingkatan, yang pertama adalah semacam teras tempat menerima tamu. Sehelai tikar digelar diatas lantai kayu, tuan rumah menyajikan sirih pinang kepada tamunya, bincang-bincang pun terus berlangsung, lalau minuman kopi panas disajikan. Demikianlah adab penerimaan tamu di sini. Tapi berhubung saya adalah orang “luar”, maka adabnya sedikit jungkir balik hahaa…saya yang memberikan sirih pinang sebagai oleh-oleh dan saya tidak ikut mengunyahnya hahaa…tapi saya meminum kopi yang disuguhkan Bapak Martinus Kapelkay sampai habis J
Sebuah tangga tegaklurus menembus “lubang pintu” berbentuk segi empat, menghubungkan teras dengan bagian dalam rumah. Tingkat kedua adalah bagian utama, seluruh kegiatan berpusat di ruangan ini, memasak, makan, dan tidur. Bagian ruangan untuk tempat tidur berada di pinggir, sangat bersahaja, hanya sehelai tikar. Tungku memasak ditempatkan diatas lantai kayu dialasi lumpur keras untuk mencegah perambatan panas dan kebakaran. Ruangan utama ini hangat tapi juga masih ada sirkulasi udara.
Diatas ruangan ini, terdapat ruangan ketiga untuk menyimpan persediaan bahan pangan seperti jagung, beras, umbi, kopi, dll. Lalu yang paling atas adalah tempat untuk menyimpan barang-barang berharga, seperti moko, benda pusaka, dll.
Saya sangat asyik mendengarkan penuturan Bapak Martinus, hingga lupa waktu. Uppsss…sudah hampir tengah hari, saya sudah ditunggu teman-teman di Dermaga Desa Alor Kecil untuk memulai petualangan mengintip alam bawah laut Alor yang tersohor.
——————————————————
Ditulis untuk : http://www.djarum-super.com/adventure/adventure-journal/